Kutipan :
BEBERAPA PEMlKIRAN MENGENAI PENYELESAIAN
SENGKETA DI BIDANG EKONOMI KEUANGAN Dl LUAR
PENGADILAN
Oleh:
Prof. Dr. Mariam Darus, S.H.
UU ini menentukan pula bahwa penyelesaian sengketa diluar pengadilan (Out of Court Settlement (OCS)) atas dasar perdamaian atau arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempuyai kekuatan eksekutorial setelah izin atau perintah untuk eksekusi (executoir) dari Pengadilan (Ps. 3 ayat (I) UU Pokok Kekuasaan Kehakiman).
Penyelesaian sengketa melalui perdamaian berakar dalam budaya masyarakat. Dilingkungan masyarakat adat (tradisional) dikenal runggun adat, kerapatan adat, peradilan adat atau peradilan desa. Lembaga musyawarah, mufakat dan tenggang rasa merupakan falsafah negara yang digali dari hukum adat, dipratekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Hukum positif mengatur perdamaian ini didalam pasal 130 ayat (1) HIR. Dikatakan bahwa perdamaian boleh dilakukan antara para pihak yang bersengketa dan perdamaian itu dituangkan dalam akte perdamaian, yang mempunyai kekuatan hukum tetap seperti putusan hakim dan bersifat final, artinya tidak boleh dilakukan banding atau kasasi.
Didalam perjalanan waktu, ikatan kekeluargaan yang berdasarkan paguyuban (gemeenschappelijke verhoudingen) memudar dan berkembang kearah masyarakat yang peternbayan (zakelijke gemeenschap) dimana perhitungan untung rugi lebih menonjol, perangkat hukum yang tersedia telah memperoleh bentuk yang lengkap dan sempurna. Namun dilingkungan masyarakat pedagang yang membutuhkan gerak cepat, terlibat dalam hubungan-hubungan global, maka perhitungan untung rugi terjadi dalam momen-momen dalam hitungan detik, bukan jam, hari dan bulan serta perhitungan biaya menjadi unsur penting, maka jika timbul sengketa dibutuhkan penyelesaian yang dan tepat serta dapat dilaksanakan (eksekusi). Memasuki era globalisasi dirasakan kebutuhan untuk meningkatkan kesejahteraan melalui perbaikan perangkat hukum dalam bidang ekonomi keuangan beserta penyelesaian sengketa yang timbul daripadanya sangat mendesak dan karena itu perlu disempurnakan.
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sangketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa (Ps.1 ayat (1)). Dalam Ps. 5 ayat (1) ditentukan bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya
oleh pihak yang bersengketa.
Para pihak adalah subyek hukum baik menurut hukum perdata maupun publik. Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang tercantum dalam perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Pactum decompromittendo ) atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (Acte compromise).
Lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu. Lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat tentang suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.
Beberapa pertimbangan untuk membentuk 1embaga Arbitrase adalah sebagai berikut :
1. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku penyelesaian sengketa perdata disamping dapat dilakukan ke peradilan umum juga terbuka kemungkinan penyelesaian sengketa diajukan melalui Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
2. Peraturan perundang-undangan yang kini berlaku untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dunia usaha dan hukum pada umumnya.
3. Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b perlu membentuk undang-undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
UU ini mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengah cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa.
Merupakan pertanyaan apakah lembaga arbitrase berwenang memeriksa sengketa kepailitan Berdasarkan keputusan Mahkamah Agung RI, putusan Nomor 21 PK/N/1999 menentukan bahwa perkara kepailitan tidak dapat diajukan penyelesaiannya kepada arbitrase karena telah diatur secara khusus dalam UU Nomor 4 Tahun 1998. Sesuai dengan ketentuan Pasal 180 ayat (1) UU Nomor 4 tahun 1998 yang berwenang memeriksa dan memutus perkara ini adalah Pengadilan Niaga.
Menurut Penulis, seyogianya sengketa arbitrase dapat menjadi wewenang arbitrase karena sifatnya terletak dalam bidang ekonomi keuangan [Prof. Dr. Remy Sjahdeini S.H., Hukum Kepailitan. Pustaka Utama Grafiti. 2002. hIm. 151]
Asas-asas dari arbitrase adalah sebagai berikut:
1. Penyelesaian sengketa diluar pengadilan;
2. Kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab. Berdasarkan asas ini para pihak mengadakan kesepakatan tertulis (klausula arbitrase);
3. Para pihak bebas menentukan hukum materiil, acara, tempat, jadwal pemeriksaan sengketa;
4. Kekuatan mengikat perjanjian (Pacta Sunt Servada);
5. Ruang lingkup terletak dalam bidang perdagangan;
6. Keputusan bersifat final dan binding (tidak ada hak banding dan kasasi);
7. Bersifat rahasia (confidensial);
8. Proses cepat;
9. Biaya murah;
10. Para pihak bebas menentukan arbiter, jadual sidang;
11. Putusan dapat dieksekusi;
12. Keputusan arbitrase berkekuatan mutlak.
Dengan perkembangan dunia usaha dan perkembangan lalu lintas di bidang perdagangan baik nasional maupun internasional serta perkembangan hukum pada umumnya maka peraturan yang terdapat dalam Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering) yang dipakai sebagai pedoman arbitrase sudah tidak sesuai lagi sehingga perlu disesuaikan karena pengaturan dagang bersifat internasional sudah merupakan kebutuhan conditio sine qua non sedangkan hal tersebut tidak diatur dalam Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering). Bertolak dari kondisi ini, perubahan yang mendasar terhadap Rv, baik secara filosofis maupun substantif sudah saatnya dilaksanakan.
___________
*)imulyana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar