Oleh : Iwan Mulyana
Sebagai gambaran secara umum bahwa fungsi
perkembangan hukum dalam pembangunan saat ini tidak terlepas dari beberapa faktor
yang mempengaruhi yaitu modernisasi / perkembangan ilmu pengetahuan, tekhnologi,
pertambahan jumlah penduduk (populasi penduduk), pertumbuhan ekonomi, kesehatan,
ideologi (pandangan hidup), kultur sosial dan agama.
Dilihat dari beberapa faktor yang
mempengaruhi terhadap perkembangan hukum tersebut di atas dalam implementasinya
akan terjadi suatu pemilahan fungsi dimana antara faktor yang satu mungkin bisa
mempengaruhi faktor yang lainnya, atau mungkin sebaliknya faktor yang satu
dengan yang lainnya akan sama sekali berbeda baik itu dalam fungsi, tujuan dan
wewenangnya, sehingga diperlukan pembahasan dan penjelasan yang dapat dibagi kedalam
enam pembahasan sebagai berikut : (1) arti dan fungsi hukum dalam masyarakat;
(2) hukum sebagai kaidah sosial; (3) hukum dan kekuasaan; (4) hukum dan
nilai-nilai sosial; (5) hakekat pembangunan sebagai perubahan sikap dan
sifat-sifat manusia; dan (6) hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat.
1.
Arti dan Fungsi Hukum Dalam
Masyarakat
Secara
definisi hukum dapat diartikan sebagai alat untuk mengatur yang hakekatnya
adalah ketertiban (order). Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari pada
segala hukum. Kebutuhan akan ketertiban ini, syarat pokok (fundamental) bagi
adanya suatu masyarakat manusia yang teratur.
Di
samping ketertiban, tujuan lain dari pada hukum adalah tercapainya keadilan
yang berbeda-beda berdasarkan tingkatan,
isi dan ukurannya, menurut masyarakat dan zamannya.
Fungsi
dari pada hukum dapat diartikankan sebagai suatu rangkaian aturan yang bersifat
mengikat terhadap objek dimana timbulnya hukum tersebut, dibuat secara sah dan
formal untuk diterapkan dan dijalankan baik oleh pembuat hukum itu sendiri
maupun oleh penerima/pelaksana dan atau objek lain yang diperuntukan dari pada
hukum itu dengan tujuannya adalah keteraturan dan ketertiban.
Setelah
kita mengetahui arti dan fungsi hukum dalam masyarakat berarti dapat ditarik
sebuah kesimpulan bahwa manusia – masyarakat – dan hukum merupakan pengertian
yang tidak dapat dipisah-pisahkan, dimana secara kodrat manusia diciptakan
sebagai makhluk sosial yang hidup berkelompok satu sama lain saling membutuhkan,
memiliki tujuan yang sama, berbudaya (memiliki budhi daya cipta dan karsa) yang
tertuang dalam norma-norma kehidupan yang tersusun dan teratur.
Pencapaian
tujuan hukum yaitu ketertiban atau keteraturan kaitannya dalam masyarakat
sebagai objek maka diperlukan usaha dan tekhnik dalam pengaplikasiannya melalui
lembaga-lembaga formal yang disesuaikan dengan ruang lingkup dan kebutuhan
masyarakat itu sendiri. Sebagai contoh : (1) KUA (Kantor Urusan Agama) sebuah
lembaga formal pemerintah yang menangani masalah dan kebutuhan masyarakat dalam
hal perkawinan, perceraian, rujuk dan lain sebagainya sesuai tugas pokok fungsi
dan wewenang KUA; (2) PUSKESMAS (pusat kesehatan masyarakat) sebuah lembaga
formal pemerintah yang menangani masalah dan kebutuhan masyarakat dalam hal
kesehatan, pengobatan, persalinan, khitanan, balita, dan lain sebagainya sesuai
tugas pokok fungsi dan wewenang PUSKESMAS.
2.
Hukum Sebagai Kaidah Sosial
Adanya
hukum sebagai kaidah sosial bahwa manusia sebagai makhluk sosial berkelompok
dan bermasyarakat ini tidak hanya diatur oleh hukum, karena selain oleh hukum,
kehidupan manusia dalam masyarakat selain dipedomani oleh moral manusia itu
sendiri, diatur pula oleh agama, kaidah-kaidah susila, kesopanan, adat
kebiasaan dan kaidah-kaidah sosial lainnya.
Antara
hukum dan kaidah-kaidah sosial lainnya ini, terdapat hubungan dan jalinan yang
erat yang satu sama lain saling memperkuat dalam pencapaian dari makna/tujuan
hukum sebagai kaidah sosial.
Dalam
hal-hal tertentu hukum dapat berdiri sendiri, artinya hukum memiliki
ketentuan-ketentuan dan dapat bersifat dipaksakan dalam suatu cara yang teratur
dimana ketentuan-ketentuan hukum itu sendiri tunduk pada aturan-aturan
tertentu, baik mengenai bentuk, cara maupun alat pelaksanaannya.
Sebagai
contoh : (1) Dalam hal Peraturan Perundang-undangan Pemerintah Daerah tentang
masalah pendirian bangunan peribadatan, ini disamping secara hukum terdapat
Peraturan yang sah disisi lain dibutuhkan kaidah-kaidah sosial lainnya,
toleransi serta izin-izin yang dibutuhkan dari masyarakat yang berada di lokasi
yang akan dibangun tempat peribadatan tersebut, contoh yang lainnya bahwa dalam
hal bagi waris kekayaan dapat dipakai dari beberapa aspek hukum dan kaidah
sosial lainnya; (2) Dalam hal simpan pinjam uang pada lembaga-lembaga keuangan,
ini memiliki hukum aturan tersendiri dan standar prosedur yang mengacu
pada ketentuan tertentu.
3.
Hukum dan Kekuasaan
Karena
sudah jelas apa hukum itu, baiklah kita sekarang mengkaji apakah kekuasaan itu?
Samakah kekuasaan (power) itu dengan kekuatan (force)? Walaupun orang yang
memiliki kekuatan (fisik) sering juga berkuasa, sehingga ada kecenderungan
setengah orang untuk menyamakan saja kekuasaan (power) itu dengan kekuatan
(force), ada kalanya bahkan sering tidaklah demikian halnya.
Sering
kita melihat seorang yang berkekuatan dikuasai oleh seorang yang fisiknya
lemah, artinya penguasaan terhadap sesuatu banyak aspek yang mempengaruhi
sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa kekuasaan tidak selalu menyertai kekuatan
dan sebaliknya. Ini disebabkan karena kekuasaan tidak selalu, bahkan sering
tidak bersumber pada kekuatan fisik. Kekuasaan sering bersumber pada wewenang
formal (formal authority) yang memberikan wewenang atau kekuasaan kepada
seseorang atau suatu fihak dalam suatu bidang tertentu.
Dalam
hal demikian dapat kita katakan, bahwa kekuasaan itu bersumber pada hukum,
yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur pemberian wewenang tadi. Mengingat
bahwa hukum itu memerlukan paksaan bagi penaatan ketentuan-ketentuannya, maka
dapat dikatakan bahwa hukum memerlukan kekuasaan bagi penegaknya. Tanpa
kekuasaan, hukum itu tak lain akan merupakan kaidah sosial yang berisikan
anjuran belaka. Kita mengenal polisi, kejaksaan dan pengadilan sebagai
pemaksaan atau penegak hukum Negara yang masing-masing ditentukan batas-batas
wewenangnya.
Hubungan
hukum dan kekuasaan dalam masyarakat dengan demikian dapat kita simpulkan
sebagai berikut : bahwa hukum memerlukan kekuasaan bagi pelaksanaannya,
sebaliknya kekuasaan itu sendiri ditentukan batas-batasnya oleh hukum, bahwa
hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah
kelaliman, artinya hukum dan kekuasaan adalah bahwa kekuasaan merupakan
suatu unsur yang mutlak dalam suatu masyarakat hukum dalam arti masyarakat yang
diatur oleh dan berdasarkan hukum. Secara analitik, bahwa kekuasaan
merupakan suatu fungsi dari pada masyarakat yang teratur.
Hakekat
kekuasaan tidak dapat ditentukan oleh dua unsur dimana wewenang dan kekuatan
menjadi mutlak sebagai sumber dari pada kekuasaaan, karena pada kenyataannya
tidak demikian bahwa wewenang formal dan kekuatan fisik, bukan satu-satunya
sumber kekuasaan, dalam kenyataannya orang yang memiliki pengaruh politik atau
keagamaan, dapat lebih berkuasa dari yang berwenang atau memiliki kekuatan
fisik (senjata). Kekayaan (uang) atau kekuatan ekonomi lainnya juga merupakan
sumber-sumber kekuasaan yang penting, sedangkan dalam keadaan-keadaan tertentu
kejujuran, moral yang tinggi dan pengetahuan pun tak dapat diabaikan sebagai
sumber-sumber kekuasaan.
Jadi
kekuasaan itu adalah phenomena yang aneka ragam bentuknya (polyform) dan banyak
macam sumbernya. Hanya hakekat kekuasaan dalam berbagai bentuk itu tetap
sama, yaitu kemampuan seseorang untuk memaksakan kehendaknya atas fihak
lain.
Kekuasaan
merupakan suatu unsur yang mutlak bagi kehidupan masyarakat yang tertib, bahkan
setiap bentuk organisasi yang teratur. Akan tetapi karena sifat-sifat dan
hakekatnya, kekuasaan itu untuk dapat bermanfaat harus ditetapkan ruang
lingkup, arah dan batasan-batasannya. Untuk itu kita membutuhkan hukum dan
sekali ditetapkan hendaknya pengaturan kekuasaan dipegang teguh, inilah inti
daripada pengertian bahwa kekuasaan itu harus tunduk pada hukum.
Karena
kompleksnya kekuasaan sebagai unsur pengatur kehidupan masyarakat ini, maka
selain pengaturannya penting pula soal (1) watak-watak dan sifat yang harus
dimiliki oleh pemegangnya dan soal (2) sikap yang dikuasai. Mengingat sifat dan
hakekat kekuasaan, jelas kiranya bahwa tidak setiap orang dengan begitu saja
dapat diserahi kekuasaan, harus dipersiapkan untuk itu. Seorang pemegang
kekuasaan harus memiliki semangat mengabdi terhadap kepentingan umum (sense of
public service).
Mengenai
sikap yang dikuasai, dapat dikemukakan bahwa pada satu fihak, ia mempunyai
kewajiban tunduk pada satu fihak, ia mempunyai kewajiban tunduk pada penguasa
(the duty of civil obedience), tetapi pada fihak lain, ia pun harus sadar akan
hak-haknya sebagai anggota masyarakat. Sebab hanya dengan demikian ia bisa
menggunakan jaminan-jaminan yang diberikan oleh hukum tidak hanya untuk
melindungi dirinya sendiri, tapi juga untuk menyelamatkan masyarakat serta
menjaga si-penguasa dari kehancuran.
Sehingga
baik si-penguasa maupun si-rakyat, harus dididik untuk memiliki kesadaran akan
kepentingan umum (public spirit). Dengan jalan pendidikan yang terarah dan
sistematis, yang tidak hanya terbatas pada sekolah, tetapi meliputi segala
lembaga-lembaga kehidupan masyarakat (social institution) termasuk lingkungan
keluarga.
Bahwa
tingkatan pencapaian dalam periode kekuasaan dalam suatu jabatan tertentu atau
pimpinan tertentu dalam konsepsi hukum dan kekuasaan akan terukur dari sejauh
mana tingkat kekuasaan yang dijalankan atas dasar hukum yang berlaku telah
menjadi ketetapan dijalankan dengan baik oleh si-penguasa dan mendapat respon
yang baik juga secara kepatuhan masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan
wewenang si-penguasa yang dijalankan terhadap ketentuan-ketentuan hukum, dalam
hal ini pelaksanaan hukum dapat diaplikasikan oleh si-penguasa dan rakyatnya.
Permasalahan
akan terjadi apabila hukum yang berlaku hanya dijalankan oleh satu pihak,
dimana hanya si-penguasa saja yang menjalankan ketentuan-ketentuan hukum
tersebut tanpa ada respon dari rakyatnya sehingga konsepsi hukum dan penguasa
terjadi ketimpangan dimana proses terjadi atau terbentuknya hukum kurang
seimbang, dalam hal ini penulis akan mengambil contoh kasus tersebut dan melakukan
penelitian untuk melengkapi skripsi ini pada bab selanjutnya.
4.
Hukum dan Nilai-nilai Sosial Budaya
Hukum
sebagai kaidah sosial, tidak lepas dari nilai (values) yang berlaku di suatu
masyarakat, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan
daripada nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Hukum yang baik adalah
hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat,
yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan daripada nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu
tadi.
Dalam
suatu masyarakat yang sedang dalam peralihan (intransition) dari suatu
masyarakat yang tertutup, statis dan “terbelakang” ke suatu masyarakat yang
terbuka, dinamis, “maju” (modern) nilai-nilai itu pun tentunya sedang dalam
perubahan pula. Dilihat secara demikian, maka dalam pembangunan yang terjadi secara fisik berupa bertambah
banyaknnya gedung, jembatan dan lain sebagainya, mesti juga ditunjang dengan
pembangunan nilai-nilai dan sikap hidup daripada manusianya itu serndiri yang
ada dalam masyarakat, karena tanpa upaya itu dilakukan maka pembangunan yang
dilaksanakan sifatnya hanya pemborosan belaka.
Sebagai
contoh ketika dibuat sebuah taman kota di suatu daerah tanpa didukung oleh pola
kehidupan masyarakat yang memiliki nilai-nilai dan sikap hidup intelektualnya baik
maka taman kota tersebut tidak akan tertata rapih dalam kurun waktu yang lama, karena
yang terjadi diantaranya membuang sampah sembarangan, parkir sembarangan,
membuang puntung sembarangan, pencoretan tulisan-tulisan yang tidak
diperuntukan pada dinding-dinding yang ada pada taman kota tersebut dan
beberapa nilai atau kebiasaan buruk masyarakat sering terjadi sehingga
pembangunan terhadap nilai-nilai dan sikap hidup intelektual dalam suatu
masyarakat sangatlah penting untuk menyeimbangkan terhadap tatanan pembangunan
yang dilaksanakan.
5.
Hakekat Pembangunan Sebagai
Perubahan Sikap dan Sifat-sifat manusia
Nilai-nilai
tidak lepas dari sikap (attitude), sifat-sifat dan kebiasaan yang (seharusnya) dimiliki orang-orang yang
menjadi anggota masyarakat sebagai penerima manfaat dalam proses berlangsungnya
pembangunan sangatlah penting adanya perubahan ke arah yang lebih baik,
sehingga pembangunan yang dilaksanakan tertunjang oleh sikap dan nilai-nilai
sosial budaya yang dapat menjaga dan memanfaatkan daripada hasil pembangunan.
Jadi
hakekat daripada masalah pembangunan adalah pembaharuan cara berpikir dan sikap
hidup. Tanpa sikap dan cara berpikir yang berubah, maka pengenalan (introduction)
lembaga-lembaga modern dalam kehidupan tidak akan berhasil.
Permasalahannya
bahwa dalam proses perubahan ke arah yang lebih baik ini membutuhkan pemilahan
dalam memilih prioritas mana yang lebih efektiv kiranya terhadap nilai-nilai
mana sajakah yang diharapkan adanya perubahan dalam struktur masyarakat yang
diinginkan sehingga efektiv juga penerapannya terhadap pembangunan yang
dilaksanakan.
Dengan
demikian maka hukum dengan sendirinya akan menyesuaikan dengan keadaan sikap
dan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat, satu sama lain saling menguatkan
dimana hukum yang tertuang dalam peraturan-peraturan yang syah dapat menuntun
masyarakat menuju kepada perubahan yang semakin baik.
6.
Hukum Sebagai Alat Pembaharuan
Masyarakat
Dari
uraian mengenai arti dan fungsi hukum, dapat kita katakan bahwa hukum merupakan
suatu “alat untuk memelihara ketertiban”
dalam masyarakat. Mengingat fungsinya di atas sifat hukum pada dasarnya
adalah konservatif. Artinya hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah
tercapai.
Fungsi
demikian diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk masyarakat yang sedang
membangun. Karena dalam hal ini ada hasil yang harus dipelihara, dilindungi dan
“diamankan”.
Bahwa
kesulitan dalam pengaplikasian suatu hukum sebagai alat untuk mengadakan
perubahan-perubahan kemasyarakatan adalah bahwa kita harus sangat berhati-hati
agar supaya oleh karenanya justru tidak ditimbulkan kerugian pada masyarakat.
Tindakan demikian tidak semata-mata merupakan tindakan yudikatif atau badan
peradilan (yudikatif) yang secara “formal yuridis” harus tepat karena eratnya
hukum dengan segi-segi sosiologi, antropologi dan kebudayaan
daripada persoalan.
Karena
itu, ahli hukum di suatu masyarakat yang sedang membangun, memerlukan
pendidikan yang lebih baik daripada biasa dalam arti meliputi suatu spektrum
ilmu-ilmu sosial dan budaya yang dibutuhkan dalam mempelajari hukum positif.
Dari
gambaran yang telah dijelaskan mengenai arti daripada fungsi dan perkembangan
hukum dalam pembangunan sangat jelas, fungsi dan perkembangan hukum dalam
pembangunan memiliki peranan yang sangat penting dalam keberhasilan pencapaian
pembangunan pada suatu wilayah dimana terdapat batas-batas wewenang penguasa,
terdapatnya hak dan kewajiban, ketaatan/kepatuhan terhadap hukum, efektivitas
pembangunan, pembaharuan atas sikap dan nilai-nilai intelektual. Sehingga
masyarakat mampu merespon dengan baik turut andil dalam terciptanya/terwujudnya
fungsi dan tujuan hukum itu sendiri yaitu tertib dan teratur. Bahwa pembangunan
yang dilaksanakan oleh si-penguasa dapat dimanfaatkan dan dijaga dengan baik
oleh masyarakat.
Kutipan dari : "Fungsi
dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional" oleh Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmaja,SH.L.L.M., HAL 1-11.
SOSIOLOGI HUKUM
1.
Pengertian Sosiologi Hukum
Sosiologi
Hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analisis dan empiris
mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial
lainnya.
Bahwa
untuk mendefinisikan sosiologi hukum, yang dalam penelitiannya mencakup
teori-teori dan sistem-sistem yang berlainan, seperti pendekatan etnologis
perbandingan. Hal ini tidak berarti bahwa teori hukum hanya berurusan dengan
teori semata, dan sosiologi hukum dengan praktik. Sesungguhnya terdapat
hubungan yang erat antara nilai tertinggi dan pelaksanaan praktis dari hukum.
Oleh karena itu, teori hukum dan sosiologi hukum harus bekerja sama di dalam
ilmu perundang-undangan. Sosiologi akan memperoleh arti penting dari
tujuan-tujuannya, tetapi tujun akhir selalu tergantung dari
pertimbangan-pertimbangan filsafiah dan bukan pertimbangan-pertimbangan ilmiah.
Satjipto
Rahardjo mendefinisikan sosiologi hukum sebagai ilmu yang mempelajari fenomena
hukum, dari sisinya tersebut di bawah ini disampaikan beberapa karakteristik
dari studi hukum secara sosiologis (Satjipto Rahardjo, 1982:293).
Pertama,
sosiologi hukum bertujuan untuk memberikan penjelasan mengenai praktik-praktik
hukum baik oleh para penegak hukum maupun masyarakat. Sosiologi hukum berusaha
menjelaskan mengapa praktik yang demikian itu terjadi, sebab-sebabnya,
factor-faktor apa saja yang berpengaruh, latar belakangnya dan sebagainya.
Tujuan untuk memberikan penjelasan tersebut di atas akan tampak agak asing
kedengarannya bagi studi hukum tradisional, yaitu pengajaran hukum yang
bersifat preskriptif yang hanya berkisar pada “apa hukumnya” dan bagaimana
“menerapkannya”. Dengan demikian bahwa mempelajari hukum secara sosiologis
adalah menyelidiki tingkah laku orang dalam bidang hukum. Dalam kaitannya
dengan uraian di atas Sutjipto Rahardjo berpendapat bahwa :
Dengan
demikian, sosiologi hukum tidak hanya menerima tingkah laku dari luar saja,
melainkan ingin juga memperoleh penjelasan yang bersifat internal, yaitu yang
meliputi motif-motif (hukum), maka sosiologi hukum tidak membedakan antara
tingkah laku yang sesuai dengan hukum yang menyimpang. Kedua-duanya merupakan
objek pengamatan dan penyelidikan ilmu (Satjipto Rahardjo : 1982:293).
Kedua,
sosiologi hukum senantiasa menguji keabsahan empiris dari suatu peraturan atau
pernyataan hukum. Apabila dirumuskan kedalam suatu pertanyaan, maka pertanyaan
itu adalah; “bagaimanakah dalam kenyataannya peraturan tersebut?”, “apakah
kenyataannya memang seperti tertera pada bunyi peraturan?”. Disini terdapat
perbedaan yang besar antara pendekatan tradisionil yang normatif dengan
pendekatan sosiologi, yaitu bahwa yang pertama menerima saja apa yang tertera
pada aturan hukum, sedang yang kedua senantiasa mengujinya dengan data empiris.
Ketiga,
berbeda dengan ilmu hukum, sosiologi hukum tidak melakukan penilaian terhadap
hukum. Perilaku yang mentaati hukum dan yang menyimpang dari hukum sama-sama
merupakan objek pengamatan yang setaraf. Sosiologi hukum tidak menilai yang
satu lebih dari yang lain bahwa perhatiannya yang utama hanyalah pada
memberikan penjelasan terhadap objek yang dipelajarinya.
Hukum
secara sosiologis merupakan suatu lembaga kemasyarakatan (legal institution),
yang diartikan sebagai suatu himpunan nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola
perikelakuan yang berkisar pada kebutuhan-kebutuhan pokok manusia.
Seorang
ahli sosiologi hukum harus menganalisis gejala-gejala hukum yang terjadi di
masyarakat secara langsung. Hal ini sesuai dengan hakikat dari ilmu sosiologi
itu sendiri, yaitu merupakan suatu ilmu yang mempelajari hubungan antara
manusia dalam kelompok-kelompok. Selain itu, sosiologi juga mempelajari
struktur sosial dan proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial (Selo
Soemardjan dan Soeleman Soemardi (ed.) 1964 :14). Hal tersebut berkaitan dengan
keberadaan hukum dalam masyarakat. Hal ini berarti sosiologi hukum merelatifkan
hukum itu menjadi tingkah laku manusia dalam masyarakat. Dengan demikian
sosiologi hukum tidak melihat hukum itu sebagai lembaga-lembaga hukum, melainkan
sebagai pola hubungan antara manusia di dalam masyarakat.
2.
Sejarah Perkembangan Sosiologi Hukum
Dilihat
dari sejarahnya istilah “sosiologi hukum” pertama kali dipergunakan oleh
seorang Itali yang bernama Anzilotti pada tahun 1882, bahwa perkembangan terbentuknya
sosiologi hukum tersebut pada dasarnya muncul dari hasil pemikiran-pemikiran
para ahli hukum maupun sosiologi. Hasil pemikiran tersebut mewakili
kelompok-kelompok disiplin filsafat, ilmu hukum maupun disiplin nomoteris. Oleh
karena itu, sosiologi hukum merupakan refleksi dari inti pemikiran-pemikiran
tersebut (Soerjono Soekanto, 1979:9).
Sebagaimana
disebut di atas bahwa istilah sosiolgi hukum untuk pertama kalinya dipergunakan
oleh Anzilotti, akan tetapi ditinjau dari sudut sejarah sosiologi hukum
penyebutan ini kurang berarti. Hal tersebut dikarenakan tidak ada penjelasan
selanjutnya mengenai perkembangannya sejak saat itu. Sementara pandangan atau
uraian yang lebih substansial sifatnya bagi perkembangan ilmu pengetahuan ini datang
dari Roscoe Pound, Eugen Ehrlich, Max Weber, Karl Llewellyn, dan Durkheim.
Perkembangan
sosiologi hukum tidak mungkin dilepaskan dari pengaruh filsafat hukum, ilmu
hukum dan sosiologi. Filsafat hukum dalam hal ini para akhli filsafat hukum
sebenarnya merupakan pembuka jalan terbentuknya dan perkembangan selanjutnya
dari sosiologi hukum.
Kemudian
secara historis dan perkembangan hukum mulai menjadi perhatian khusus pada abad
kesembilanbelas dimana cara pandang hukum yang semula bersifat abstrak dan
formal legalistis menuju pada suatu pandang yang bersifat yuridis sosiologis
atau yuridis empiris, penguatan terhadap cara pandang hukum ini telah
dipelopori oleh Von Savigny (madzhab sejarah) telah menarik perhatian
banyak orang dari suatu analisis hukum yang bersifat abstrak dan ideologis
kepada suatu analisis hukum yang difokuskan pada lingkungan sosial yang
membentuknya (konsideransi/volksgeist).
Pokok
pemikiran Von Savigny adalah hukum merupakan perwujudan dari kesadaran
masyarakat (volksgeist), juga berpendapat
bahwa semua hukum berasal dari adat istiadat dan kepercayaan dan bukan
berasal dari pembentuk undang-undang. Madzhab sejarah itu kemudian membuka
jalan bagi timbulnya aliran-aliran sociological jurisprudence, yang
kemudian juga membawa pengaruh besar terhadap ilmu-ilmu sosial lain dan proses
kelahiran sosiologi.
KEBUDAYAAN
Kebudayaan = cultuur
(bahasa Belanda) = culture (bahasa Inggris) berasal dari perkataan Latin
“Colere” yang berarti pengolah, mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan,
terutama mengolah tanah atau bertani. Dari arti berkembanglah arti culture
sebagai “segala daya dan aktivitet manusia untuk mengolah dan mengubah alam”.
Dilihat dari sudut
bahasa Indonesia, kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta “bhuddayah”, yaitu
bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal.
Secara Definisi
kebudayaan telah diterangkan dan dijelaskan oleh banyak sarjana. Dua orang
sarjana antropologi yang terkenal yaitu AL Kroeber dan C. Kluchohn telah
menyusun dan mengumpulkan berbagai definisi tentang kebudayaan
Pandangan serta pengertian
budaya yang dikutip dari internet dengan alamat website www.wikipedia.com sebagai berikut di bawah
ini :
Budaya adalah suatu
cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan
dari generasi ke generasi.[1] Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit,
termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian,
bangunan, dan karya seni.[1] Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian
tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya
diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan
orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya,
membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.[1]
Budaya adalah suatu
pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak
aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya
ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.[2]
Beberapa alasan mengapa
orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain
terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai
yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas
keistimewaannya sendiri."Citra yang memaksa" itu mengambil
bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti "individualisme
kasar" di Amerika, "keselarasan individu dengan alam" d Jepang
dan "kepatuhan kolektif" di Cina.
Citra budaya yang
bersifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai
perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat
dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa
bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.
Dengan demikian, budayalah
yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas
seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain.
Berdasarkan wujudnya
tersebut, Budaya memiliki beberapa elemen atau komponen, menurut ahli
atropologi Cateora, yaitu :
Kebudayaan material
Kebudayaan material
mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam
kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu
penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya.
Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat
terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci.
Kebudayaan nonmaterial
Kebudayaan nonmaterial
adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi,
misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.
Lembaga social
Lembaga social dan
pendidikan memberikan peran yang banyak dalam kontek berhubungan dan
berkomunikasi di alam masyarakat. Sistem social yang terbantuk dalam suatu
Negara akan menjadi dasar dan konsep yang berlaku pada tatanan social
masyarakat. Contoh Di Indonesia pada kota dan desa dibeberapa wilayah, wanita
tidak perlu sekolah yang tinggi apalagi bekerja pada satu instansi atau perusahaan.
Tetapi di kota – kota besar hal tersebut terbalik, wajar seorang wanita memilik
karier
Sistem kepercayaan
Bagaimana masyarakat
mengembangkan dan membangun system kepercayaan atau keyakinan terhadap sesuatu,
hal ini akan mempengaruhi system penilaian yang ada dalam masyarakat. Sistem
keyakinan ini akan mempengaruhi dalam kebiasaan, bagaimana memandang hidup dan
kehidupan, cara mereka berkonsumsi, sampai dengan cara bagaimana berkomunikasi.
Estetika
Berhubungan dengan seni
dan kesenian, music, cerita, dongeng, hikayat, drama dan tari –tarian, yang
berlaku dan berkembang dalam masyarakat. Seperti di Indonesia setiap
masyarakatnya memiliki nilai estetika sendiri. Nilai estetika ini perlu
dipahami dalam segala peran, agar pesan yang akan kita sampaikan dapat mencapai
tujuan dan efektif. Misalkan di beberapa wilayah dan bersifat kedaerah, setiap
akan membangu bagunan jenis apa saj harus meletakan janur kuning dan buah –
buahan, sebagai symbol yang arti disetiap derah berbeda. Tetapi di kota besar
seperti Jakarta jarang mungkin tidak terlihat masyarakatnya menggunakan cara
tersebut.
Bahasa
Bahasa merupakan alat
pengatar dalam berkomunikasi, bahasa untuk setiap walayah, bagian dan Negara
memiliki perbedaan yang sangat komplek. Dalam ilmu komunikasi bahasa merupakan
komponen komunikasi yang sulit dipahami. Bahasa memiliki sidat unik dan
komplek, yang hanya dapat dimengerti oleh pengguna bahasa tersebut. Jadi
keunikan dan kekomplekan bahasa ini harus dipelajari dan dipahami agar
komunikasi lebih baik dan efektif dengan memperoleh nilai empati dan simpati
dari orang lain.(www.wikipedia.org)
Dapat
dipahami dari beberapa penjelasan baik secara depinisi maupun secara deskripsi
tentang kebudayaan yang ada dalam kehidupan manusia, yang apabila dikaitkan
bahwa kebudayaan merupakan sebuah disiplin ilmu yang sangat mempengaruhi
terhadap timbulnya suatu hukum (nilai-nilai, etika, norma dan aturan) yang
dituangkan kedalam ketentuan-ketentuan yang baku yang disetujui atau diakui
baik oleh kelompok sosial (civil society) maupun oleh lembaga-lembaga
(institutions).
Sehingga
dengan demikian timbul suatu hukum adat yang secara harpiah dapat diartikan
sebagai hukum asli yang tidak tertulis yang memberi pedoman kepada sebagian
besar orang Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, dalam hubungan antara satu
dengan lainnya baik di desa maupun di kota, dengan kata lain adanya kebiasaan
kebiasaan yang timbul dalam kehidupan menjadi tradisi yang dilakukan secara
terus menerus.
Kemudian
di samping bagian tidak tertulis dari hukum asli ada pula bagian yang tertulis,
yaitu seperti : Piagam, perintah-perinta Raja, patokan-patokan pada daun
lonyar, awig-awig(dari Bali), dan lain sebagainya. Pada bagian hukum asli yang
tertulis pengaruhya sangat kecil dibandingkan dengan hukum asli yang tidak
tertulis, karena hukum asli yang tertulis biasanya dipakai hanya untuk sebuah
kegiatan yang sifatnya temporari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar